Sabtu, 30 Maret 2013

Menitip Senja

Diposting oleh Nurul Qisthy di 09.12


Senja kejingga-jinggaan
Aku dan Kamu sama-sama menyukainya…

Kita saling bergenggaman tangan, melempar senyum satu sama lain, dan saling memberi secarik kertas untuk menuliskan nama kita berdua. Di depan kita, ada ombak yang berseru, bersorak tentang kemesraan kita.  Di bawah senja kejingga-jinggaan itu, kita mengikrarkan cinta kita. Kita selalu berada di tempat ini, ketika rindu telah bertahta di hati kita masing-masing. Kita selalu merindukan kemesraan dikala senja datang dengan riukan ombak yang bersemai. Kita suka senja kejingga-jinggan. Namaku Senja Setia Putri. Ini adalah bukan sebuah kebetulan jika aku menyukai senja. Aku dan Awan-pacarku sama-sama menyukai senja. Kami sering menghabiskan waktu bersama di kala senja datang. Aku dan Awan juga suka laut. Kami sering menulis nama kami dalam secarik kertas dan memasukkannya ke dalam botol minuman bekas dan menghanyutkannya ke laut. Dengan 1 harapan, Aku dan Awan akan tetap selalu bersama. Seperti halnya secarik kertas yang bertuliskan nama kami dalam sebuah botol minuman bekas itu. Meski ombak menghanyutkannya dengan begitu lantang, dia tetap bertahan dan seakan tak ingin memisahkan nama kita. Awan adalah pria romantis menurutku. Ucapan “Aku Sayang Kamu” selalu menjadi sarapan pagi buatku dari Awan. Lima tahun kita bersama, Awan masih tetap Awan yang dulu. Awan yang pertama kali menyatakan cinta di bawah senja. Awan yang pertama kali menatap mataku dengan tajam. Pria satu-satunya yang menembakku dengan kalimat “ Kamu adalah senja, Kamu yang menyukai senja, dan aku ingin mengikrarkan cinta di bawah senja”. Di saat itulah, kami adalah penyuka senja sejati. Satu-satunya pasangan yang hampir setiap hari menikmati senja di pantai-kota kami.
©©©
Aku dan Awan kuliah di universitas yang sama. Aku jurusan Sastra Indonesia sedangkan Awan kuliah di jurusan Sastra Inggris. Aku dan Awan seangkatan. Kami sama-sama sudah semester akhir. Tapi, Awan ketinggalan 2 semester karena dia pernah cuti akibat penyakit yang dideritanya. Dia mengidap Penyakit Jantung bawaan. Dan aku baru mengetahui penyakit Awan ketika waktu itu aku sangat sibuk mengurus ujian proposalku. Sementara Awan memaksakan dirinya untuk setiap detik berada di sampingku. Dia mendampingiku mengurus segala keperluan untuk ujian besok. Waktu itu kami sangat sibuk. Awan pulang balik mengantarku kesana-kemari. Semua urusan sudah terselesaikan. Awan mengantarku pulang. Ketika dia turun dari motornya, bermaksud mengantarkanku masuk ke dalam rumah, tiba-tiba dia terjatuh. Aku berusaha menahannya agar dia tak jatuh ke tanah. Tapi, aku tak sekuat itu. Aku hanya berhasil menahan kepalanya dengan tanganku. Badannya tergeletak ke tanah. Aku panik. Aku berteriak memanggil orang-orang yang melewati jalan sepanjang rumahku. Mereka berdatangan dan mengangkat tubuh Awan yang tak berdaya masuk ke dalam rumahku. Aku menangis sambil menggenggam tangan Awan sekuat mungkin. Dia juga seakan berusaha kuat membalas gengamanku. Ayah dan Ibu tak berada di rumah. Mereka masih dalam karir masing-masing di luar sana. Di rumah hanya ada aku dan Awan yang belum juga sadar. Orang-orang yang telah mengangkat Awan semua telah pulang. Aku bingung harus melakukan apa untuk orang yang kucintai itu. Aku hanya bisa mengelus-elus kepala Awan sambil menangis. Aku membisikkan ke teling Awan “Awan bangun”. Kubisikkan kata itu, sampai berulang kali. Lima belas menit kemudian, Awan bangun dengan memegang dadanya. Dadanya seakan sakit. Aku tak berfikir apa-apa ketika itu. Aku terus memeluk Awan yang masih lemah. Aku  senang Awan telah sadar.
“Aku kenapa?Kok aku di dalam rumah kamu?” Tanya Awan
“Kamu lupa ya??Kamu tadi pingsan saat kamu ngantarin aku masuk” Jawabku
Awan tiba-tiba diam. Dia tak membalas lagi percakapanku. Aku menanyakan apa dia baik-baik saja. Dia menjawab “Iya Aku baik-baik saja”. Aku tak pernah melihat keadaan Awan se-drop ini. Aku mulai curiga pada sikap diam Awan yang tiba-tiba. Aku mulai meyakinkan Awan kalau aku adalah orang yang dia cintai dan aku siap menjadi pendengar setia Awan. Aku terus meyakinkannya. Awan berusaha tetap menyembunyikan degan raut wajah yang berusaha dibuat-buat agar tidak menimbulkan kecurigaan.  Namun, Aku tidak percaya dengan raut wajah bodoh itu. Aku kenal Awan sudah lama. Dia tak pernah sebodoh ini. Namun, Awan tidak kuat menyembunyikannya kepadaku. Dia menceritakan penyakitnya itu. Tiba-tiba beningan air mata muncul dari pelupuk air mataku. Aku terdiam. Aku mencintai orang yang lemah dan aku sering memaksakannya untuk menemaniku. Aku pacar yang jahat ternyata. “Maafkan Aku Wan..Maafkan Aku” Kataku dalam hati. Semua cerita itu adalah tombak yang tiba-tiba menusuk hatiku. Aku merasa sangat bersalah dengan Awan. Gara-gara aku, Awan jadi ­Drop begini. Tiba-tiba ada rasa yang sangat besar untuk memeluk Awan selama mungkin. Aku ingin menjadi Awan. Aku Senja yang ingin menggantikan Awan. Aku senja yang ingin merasakan menjadi Awan. Rasa ingin memeluk Awan terlalu besar itu membuatku hanya bisa menatap Awan yang melemah. Namun, tiba-tiba Awan memelukku dan mengatakan “ Maafkan Aku Senja, Awan yang kamu sukai adalah orang yang lemah. Awan yang kamu miliki hanya bisa berusaha untuk membuatmu bahagia dengan semua kelemahan ini. Awan yang hanya ingin menyatu dengan senja”.  Aku terdiam dan membalas pelukan hangat dari Awan. Aku ingin sekali berteriak “ Aku Senja yang menyukai Awan apa adanya. Sama seperti saat aku belum mengetahui semua ini”. Semenjak kejadian itu, aku tak pernah lagi merepotkan Awan. Aku selalu ingin menjadi Senja yang menjinggakan Awan. Aku ingin menjadi pacar terbaik Awan.
©©©
Memasuki tahun ke-enam kebersamaan Kami. Aku sudah meraih gelar sarjanaku, sementara Awan masih mengejar ketinggalannya. Saat menggelari Sarjana Sastra Indonesia, perasaan membenci gelar itu tiba-tiba datang. Aku tak selalu bisa berada di samping Awan. Tak bisa menemani Awan ketika sedang mengerjakan tugas kuliah di kampus. Tak ada makan bareng setiap hari lagi di kantin sastra. Aku khawatir dengan Awan. Aku takut dia terlalu capek dan ngedrop lagi. Aku tak ingin Awanku sampai sakit lagi. Hal yang paling aku benci ketika mendapatkan gelar sarjana ini, desakan orang tuaku yang menginginkanku menikah. Aku selalu menolak karena ada Awan. Aku selalu mebicarakannya dengan Awan ketika kami menatap senja yang sama. Tapi, Awan hanya bisa meledekku. Aku tak tahu isi hati Awan seperti apa. Aku ingin Awan menikahiku. Tapi, Awan belum selesai. Sementara orang tuaku, menginginkanku cepat-cepat menikah karena katanya Ayahku sudah tua. Dia ingin sekali menimang cucu dariku. Aku anak tunggal dan mereka semua hanya bisa berharap kepadaku. Awan tak pernah peduli dengan Senja yang mulai bingung. Awan hanya bisa menghiburku tanpa solusi apapun. Seringkali aku bilang ke Ibuku, tunggu beberapa tahun lagi, tapi Ibuku menginginkan Aku menikah tahun ini. Bagaimana dengan Awan-pacarku?? Aku tak mungkin meninggalkannya begitu saja hanya karena kehendak orang tuaku.
©©©
Beberapa bulan kemudian, seorang pria bertubuh jangkung dan berparas tampan yang di dampingi oleh seorang wanita yang sudah separuh baya dan seorang laki-laki yang rambutnya telah memutih, duduk di sofa rumahku. Disana ada ayah dan ibuku. Mereka seperti sangat akrab. Mereka seperti telah membicarakan hal serius. Aku pun berharap bukan tentang aku. Aku masuk ke dalam rumah. Tiba-tiba Ibu memanggilku dan memperkenalkanku dengan sosok pria misterius itu. Namanya Langit. Langit Pratama Putra. Anak pertama dari Ibu Lani dan Pak Singgit. Pak Singgit adalah kerabat dekat Ayah. Itu yang aku tangkap dari perkenalan pertamaku dengan keluarga Pak Singgit. Langit memiliki senyuman yang manis, hampir sama dengan senyuman Awan. Tapi, aku tak akan pernah bilang kalau Langit sama dengan Awan. Awanku bukan Langit. Awanku adalah milik Senja. Setelah perkenalan itu, Langit terus mengirimiku pesan. Dia mendapat nomorku dari Ibuku. Dia sangat sopan dan sikapnya sedikit mirip dengan sikap Awan. Cara dia bertutur kata, cara dia mengirimiku pesan dan cara dia menghiburku. Semua hal hampir mirip dengan Awan. Langit selalu menanyakan kabarku. Aku sering tak menggubrisnya. Karena aku masih dengan Awan. Aku masih ingin menjaga perasaan Awan-orang yang kucintai selama enam tahun.
Ketika aku sedang berbicara dengan Awan melalui telepon, Ibu tiba-tiba memanggilku. Aku memutus pembicaraan dengan Awan dengan kata penutup “Senja sayang Awan”. Aku pun berlari ke arah Ibu. Ibu memberi raut wajah serius ke arahku. Aku seperti takut untuk mendekat ke Ibuku. Ibu menyuruhku duduk dan membicarakan sesuatu hal yang tiba-tiba menghujam jantungku. Tiba-tiba seperti ada awan hitam di saat senja, dan kemudian langit bocor dan mengeluarkan hantaman petir ke arah senja. Senja seperti tak ada lagi. Hanya ada senja kehitaman. Ketika Ibu membicarakan perjodohanku dengan Langit-anak pak Singgit. Ibu tak membiarkanku untuk menceritakan tentang Awan yang sakit. Ibu seakan memaksaku menikah dengan Langit-pria yang asing dan yang tak pernah kucintai. Paling menyakitkan lagi, aku harus menikah dengan Langit bulan depan. Ternyata, kedatangan Langit dan orang tuanya kemarin adalah acara pertunanganku dengan Langit. Aku tak menyadari semuanya. Aku melihat raut muka Ibu yang memelas kepadaku. Aku seakan tak bisa menolak kehendak Ibu. Di sisi lain aku masih dengan Awan. Aku tak ingin Awan hilang dikala senja. Disaat itu Senja tak lagi kejinggaan. Hanya ada Senja kehitaman. Semua impianku dengan Awan untuk tetap menatap senja yang sama di sore hari bersama setiap harinya, kini pupus.
©©©
Aku mengirim pesan ke Awan. Mengajaknya ke tempat kita biasa menatap senja dan menghanyutkan secarik kertas yang bertuliskan nama Senja dan Awan di dalam botol. Awan menanggapinya dan setuju dengan ajakanku. Awan seperti biasa saja. Dia belum tahu betapa hancurnya aku saat ini. Aku takut sekali Awan drop dan tak bisa melihat Awan lagi dalam senja. Aku melihat Awan sudah duduk di tempat yang tidak asing lagi bagi Aku dan Awan. Aku seperti takut mendekat. Aku ingin sekali memeluk Awan sepanjang waktu. Sebelum semuanya berubah. Aku mulai mendekat ke arah Awan dan duduk tepat di sampingnya. Kaki, Tangan, mulai keram. Detak jantung berdetak tak karuan. Wajahku selalu berusaha untuk tidak menampakkan raut wajah sedih. Aku menatap Awan di saat senja. Aku melihat senyum Awan sama seperti pertama kali kami duduk di sini dan mengikrarkan cinta kita. Aku hanyut dalam perasaan yang sangat hancur. Semua tak bisa tertahan, meski aku mencoba untuk bertahan untuk tidak menangis, aku tak bisa melihat wajah polos Awan. Aku lalu memeluknya. Disana hanya kami berdua.Sehingga aku tak pernah malu untuk memeluknya di tengah senja. Aku menangis dan terus meminta maaf. Awan yang hanya diam, membalas pelukan eratku. Dia menanyakan apa yang terjadi kepadaku. Aku tidak bisa mengucap sepatah kata pun. Aku seperti lupa, pembicaraan yang kubawa kesini untuk Awan dari rumah. Aku terus menangis dan memeluk Awan. Aku tak ingin melepaskan pelukan terakhir itu untuk Awan. Hanya untuk Awan dalam senja. Awan melepaskan pelukanku. Dia menghapus air mataku dengan jemari yang sering menggenggamku di saat senja seperti ini. Dan sekarang dia menggunakan jemarinya untuk menghapus air mataku yang tak pernah berhenti berderai. Awan bertanya “Ada apa?”. Aku menceritakan semua tentang perjodohan itu tanpa terlewatkan sepatah katapun. Kulihat pertama kali air mata menetes di pelupuk mata Awan. Awan seperti kelihatan sangat sedih. Yang aku tahu selama enam tahun ini, Awan adalah pria yang tegar. Dia tegar menjalani rasa sakit yang selalu muncul dalam kesehariannya. Dan kini aku melihat air mata itu membasahi pipi Awan. Aku tak mampu menghapus air mata langka itu. Tiba-tiba dia meraih kepalaku dan mengecup keningku yang terakhir kalinya. Air mata kami saling berjatuhan. Kami menikmati senja dengan hiruk pikuk kesedihan. “Senja akan tetap selalu untuk awan, meski senja telah berlabuh dengan awan lainnya. Ketika Senja merindukan Awan, Awan akan selalu ada mendampingi senja untuk membuat dunia menjadi indah. Kamu harus percaya itu. Awan dan senja selalu akan tetap berdampingan. Kamu jangan takut!!!” Kalimat terakhir saat senja terakhirku dengan Awan. Awan seperti merelakanku dengan perjodohan ini. Dia begitu kuat. Sementara aku rapuh. Senja terakhirku dengan Awan. Aku menghabiskan senja itu berdua. Dengan pelukan dan air mata. Setelah itu, Aku tak pernah lagi bertemu dengan Awan. Awan-mantan kekasihkupun tak pernah lagi menghubungiku. Nomornya tak lagi aktif. Dan aku masih merindukan Awan Enam tahun lalu. Saat pertama kali bertemu.  
©©©
Akad nikahku berjalan dengan lancar. Langit telah menjadi milikku yang sah. Tak ada lagi Awan yang saat senja, yang ada hanya langit pengganti awan. Aku masih merindukan Awan yang pergi tanpa meninggalkan jejak. Sekarang aku berusaha meletakkan langit dalam senja. Tapi, aku seperti melihat Awan dalam diri Langit. Mereka begitu mirip. Sampai-sampai Langit seperti tahu semua tentang aku. Padahal aku baru saja mengenal Langit sebulan yang lalu. Langit dan Awan adalah pria yang berbeda tapi seperti selalu ada yang sama dari mereka. Aku tak bisa menebak terlalu dalam. Karena intinya Langit dan Awan adalah orang yang berbeda.
Sekarang aku telah mengandung anak Langit. Langit adalah suami yang sangat baik. Dia begitu peduli padaku. Sama seperti pedulinya Awan denganku dulu. Usia kandunganku sudah memasuki 9 bulan. Bulan ini adalah bulan aku akan menjadi Ibu dari anakku bersama Langit. Hasil USG di rahimku bersemi janin berparas tampan. Dia seorang anak laki-laki. Aku selalu berharap dia mirip dengan Awan. Karena aku selalu merindukan Awan.
“Sayang… kesini dulu”
“Iya…tunggu”
 Aku berjalan ke arah Langit yang sedang duduk di sudut ranjang kamar kami. Dia seperti memegang sesuatu yang mirip botol minuman bekas. Dia mempersilahkan aku duduk di sampingnya dan menyodorkan botol minuman bekas yang berisi gulungan kertas berwarna jingga. “Apa ini?” Tanyaku. “Ada yang menitipkan ini kepadaku setahun yang lalu. Dia menyuruhku memberikannya kepadamu ketika kamu telah mengandung dan usia kandunganmu sudah memasuki 9 bulan”. Aku tak bertanya apa-apa lagi kepada Langit. Botol minuman bekas ini, serasa tak asing. Ini mengingatkanku 7 tahun yang lalu di tepi pantai di bawah senja. Ya, saat itu aku masih dengan Awan. Aku tak sabar membuka gulungan kertas jingga berpita putih itu. Aku ingin mengetahui isi lembaran misterius itu.
Untuk Senja…
Aku Awan yang pernah menghiasi hidup senja. Aku Awan yang berharap senja tak pernah berubah warna. Aku Awan yang ingin senja tetap jingga. Sekarang senja sudah bahagia dengan awan lain. Disini aku tersenyum untuk senja. Meski tempat awan dan senja sudah berbeda, Awan akan tetap mendampingi senja yang kejinggan itu. Awan akan selalu hadir selama senja masih terus ada. Karena awan tak pernah terpisahkan dari senja. Sekarang senja yang aku kenal sudah akan melahirkan senja atau awan yang baru.Dia pasti tampan atau cantik. Maafkan tak bisa mempertahankan hubungan kita dulu. Karena Senja pasti  sudah tahu, kalau Awan sulit bertahan dengan hidupnya yang hanya tinggal menghitung hari. Awan tak ingin senja bersedih dalam jangka waktu yang lama. Awan menghentikan semua tangisan itu secepatnya, dengan mengirimkan langit pengganti awan. Langit milik senja sekarang adalah kakak dari Awan. Selama ini Awan tak ingin menceritakan tentang keluarga Awan sebenarnya. Karena Awan ingin menikmati hidup Awan dengan cinta bersama Senja. Sekarang aku harus mengikhlaskan cinta Awan untuk Langit. Langit adalah kakak terhebat buat Awan. Dan akan menjadi suami terhebat buat Senja. Aku ingin berterima kasih kepada Langit, karena telah menjadi pahlawan buat Awan. Buat Kak Langit Titip Senja buat Awan ya.. Dan jika anak pertama Kak langit dan Senja adalah seorang laki-laki aku ingin nama Awan buat anak itu. Agar Langit, Awan dan Senja bersatu untuk meronai dunia. Sekarang aku suka Awan, senja dan Langit. Kecup sayang buat Kak Langit dan Kakak Iparku Senja… Tak lupa buat calon kemankanku…Salam sayang Awan”
Pelupuk mataku telah basah lagi membaca sebait surat Awan untukku. Aku sangat marah dengan Awan. Dia membiarkanku dengan pria lain, yang tak lain dia adalah kakaknya sendiri. Aku bukan wanita sejahat itu, yang membiarkanmu kesakitan sendiri. Andai aku tahu sebelumnya, aku tak akan membiarkan semua ini terjadi. Aku akan menikahi Awan dalam keadaan seburuk apapun tapi, semua telah terlewatkan. Awan telah pergi untuk selamanya. Aku tiba-tiba memeluk suamiku yang mirip dengan Awan itu. “Aku merindukan Awan, Bisakah kamu menemaniku ke tempat peristirahatan terakhirnya?” Ajakku ke suamiku. “Baiklah aku akan menemanimu. Hapus air matamu, karena Awan tidak ingin melihat senja bersedih” Bujuknya. Aku dan suamiku pergi ke daerah pemakaman yang tidak jauh dari rumahku. Aku melihat nama Angriawan Saputra di papan yang tertancap di atas gumpalan tanah yang sudah mengering.  Aku menangis dalam pelukan suamiku. Dia mencoba menenangkanku. Aku melihat raut wajah kesedihan di wajah suamiku. Sesekali ku dengar dia membisikkan kalimat “Aku bangga punya adik seperti Awan”. Ya.. aku juga bangga punya Awan dalam senja yang lalu. Beberapa hari kemudian, aku melahirkan anak tampan. Dia mirip dengan Langit dan Awan. Aku pun memberikannya nama Awan untuk anakku dengan Langit. Sekarang aku juga suka Senja, Awan dan Langit sama seperti kesukaan Awan dalam suratnya.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Catatan Pelangi Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea