"Bunda pergi saja ya??"
"Jangan... Bunda di sini saja"
"Kenapa bunda gak boleh pergi?"
"Hmmm.... jangan saja"
Percakapan singkat kita setelah lelah bermain dengan waktu. Jawaban yang tak akan pernah aku tolak. Kita membagi waktu kebersamaan kita sampai kita sadar akan selalu ada rindu antara kita. Percakapan singkat kita, seakan membuat putaran waktu sedikit melambat. Aku hanya bertemu denganmu beberapa jam saja, sampai kamu menolak pertanyaan yang menyesakkan itu-pergi dari dekapan matamu. Ini jawaban Tuhan, dari setiap doa yang berbalut air mata setiap waktunya.
Seratus Enam Puluh Delapan jam batas waktu yang telah aku sepakati sebelum keberangkatanku untuk menemuimu. Pengharapan yang besar jika saja 168 jam itu maksimal. Tapi, aku sadar 168 jam itu akan terbagi bagaimanapun kondisinya. Bagaimanapun caraku untuk memandangnya lebih lama lagi. Karena aku masih punya hati yang tulus untuk membaginya. Meski tetap masih ada air mata yang akan tertoreh ketika kamu tak begitu mengenalku. Aku terima semua itu.
Pertama kali, aku dan kamu bertatap lama sekali. Ini sudah lama ada di benakku-sebelum keberangkatanku untuk menemuimu. Kamu tak mengenalku. Kamu tahu saat itu aku seperti apa?? SAKIT...
Salah tingkah yang kuhadirkan di depan kamu, hanya untuk menutupi rasa sakit yang sangat itu. Saat itu, apa yang ada di benakku??? Aku ingin berteriak di hadapan semua orang "Aku adalah ibu asli dari anak yang tak tahu apa-apa ini, haruskah sesakit ini hanya karena seorang ibu yang ingin anaknya mengakuinya bahwa aku adalah ibunya" Namun, aku tak berhak menyakiti perasaan mereka-orang tua angkat anakku. Aku memeluknya meski seringkali menolak pelukanku. "Aku ingin pergi dengan ibuku" hanya itu yang terucap ketika aku mendekatinya. "Aku Ibumu nak" Seperti ingin meyakinkannya dengan kata-kata itu, tapi tak akan mungkin untuk saat itu. Aku menahan air mata yang tak harus aku teteskan saat itu. Berusaha tegar caraku untuk tidak terlihat lemah di hadapannya.
Beberapa kali kita bertemu... Meski awalnya kita tak pernah tidur bersama dan akhirnya tidur bersama. Aku harus membagi 168 jam itu dengan Ibu angkatmu. Aku tak keberatan. Meski sering kali air mata dalam shalatku menetes begitu saja. Melihatmu bahagia dengan ibu angkatmu. Namun, Tuhan selalu menguatkanku sehingga aku tak boleh lemah meski kamu tak berpihak kepadaku.
Seratus Enam Puluh jam yang kuinginkan denganmu, seperti jauh dari kenyataannya. Hatiku sudah dipermainkan. Namun, saat itu aku tak ingin berbicara apapun. Kurang dari 168 jam mungkin sudah cukup untukku. Kita sudah saling berbagi cerita, tersenyum bersama, membuatkanmu makan, memandikanmu, bermain denganmu, menyanyikanmu "Nina Bobo", memelukmu, mungkin Tuhan berkata sudah cukup. Meski tak cukup buatku. Aku sadar. "Inikah rasanya menjadi seorang ibu?ternyata menyenangkan" Itulah yang kurasakan saat itu. Dan kelihatannya kamu juga senang dengan itu semua, meski harus menunggu beberapa jam dari 168 jam yang kutargetkan.
"Nak, main sama ibumu gih, dia baru saja datang"
"Tidak mau, aku mau sama bunda saja"
"gak boleh gitu sayang"
Tiba-tiba kamu memelukku erat sekali. Seakan kamu ingin bilang "Aku hanya ingin sama bunda saja, aku rindu sama bunda". Jika saja kamu sudah sebesar anak-anak yang sudah masuh Sekolah Dasar, mungkin kamu akan berkata demikin dalam kondisi saat ini. Kamu acap kali mengecupku tiba-tiba, dan mengajakku untuk bernyanyi. Kamu tahu saat itu perasaanku?? Aku bahagia dan merasa tidak enak-tidak enak dengan ibumu, yang melihat kedekatan kita. Pasti perasaannya sakit melihatmu lebih akrab denganmu. Selalu aku selipkan seruan "Kamu masuk saja", namun tanggapanmu sama sekali tak merespon seruanku. Aku memelukmu erat dan kamu membalasnya. Kita ternyata punya hati yang saling merindu, meski kita tak bisa mengungkapkannya kepada mereka yang tak pernah mengerti.
"Ayo pulang?"
"Aku tak mau pulang, Ibu pulang saja"
"Kenapa begitu? teman-temanmu sudah merindukanmu. Ayo pulang" Seruan Ibu angkat anakku yang tak henti-hentinya. Aku membantu membujuknya, dan kali ini aku berhasil. Dia seakan luluh hatinya ketika seruanku yang manis ke arahnya. Sepertinya, dia memang tak ingin meninggalkanku, dia selalu mencar-cari alasan untuk tidak pergi sampai ibunya sendiri tak bisa mengendalikannya. Namun, entah kenapa, aku merasa kasian dengan ibunya. Aku menggendong anakku dan memeluknya senyaman mungkin. "Kamu pulang ya sayang" Kamu sepertinya luluh lagi. Yang tadinya kamu ngambek, kenapa tiba-tiba kamu tak tenang. Semua orang yang melihatnya, seperti heran dengan sikap tenang anakku-yang sebenarnya sifatnya keras. Aku melambaikan tangan kearahnya, dan berharap besok dia akan kembali lagi bermain denganku. Namun, aku tak tahu alasan jelasnya, dan sampai sekarang aku tak mendapat jawaban yang tepat untuk meyakinkan tanda tanya itu. Kenapa 48 jam terakhir sebelum keberangkatanku pulang, dia tak membawa anakku lagi. Padahal di saat itulah aku ingin dia bersamaku. Aku sudah ikhlas membagi 168 jam waktu kebersamaan kami denganmu, namun, alasan untuk tidak mendekatkanku dengan dia apa? takut? Baiklah aku mengerti. Semoga anda mengerti bagaimana rasanya aku berbagi 168 jam ku dengannya...
PictPictPict
About Me
- Nurul Qisthy
- Aku akan hadir setelah Hujan reda.... Karena aku adalah salah satu warna dari pelangi yang melengkung itu....
twit
Followers
Sabtu, 06 April 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar