Rabu, 14 Agustus 2013

Happy Birthday My son "3"

Diposting oleh Nurul Qisthy di 18.14 0 komentar
Ini kali ke-3 momen bertambahnya usia kamu, kita tak bersama…
Ini mungkin menyesakkan bagi bunda, namun bunda harus terima itu…
Selamat Ulang Tahun Sayang… Doa bunda semuanya yang terbaik buat kamu…
Jadi anak soleh, harapan bunda buat Faiz…
Mungkin Faiz sudah lupa sosok  bunda seperti apa, Namun, Faiz takkan pernah lupa dekapan hangat Bunda buat Faiz…
I miss u so much sayang…..
Bunda sudah kehabisan kata buat Faiz…
Bunda menyimpan semuanya dalam hati…
Faiz anak hebat buat bunda…
Tanpa Bunda pun, Faiz akan menjadi hebat…
Tetap tersenyum malaikat kecilku…
Tetap menjadi bintang dalam hidup bunda…
Akan ada saat pelangi datang tanpa Bunda undang….
“peluk, cium” buat Faiz…

MY Beloved Son….


Senin, 22 April 2013

Si Nikon beraksi

Diposting oleh Nurul Qisthy di 19.27 0 komentar
Mencoba itu memang sulit...
Setelah mendapatkan terbaik itulah yang akan membuatmu lega....
Seperti ini...






Jumat, 12 April 2013

Pintaku

Diposting oleh Nurul Qisthy di 19.24 0 komentar
Ya Allah... Perasaan ini kian menjadi-jadi
Ketika rinduku dengan sosok yang engkau titipkan di rahimku sangat besar
Namun,  waktu tak mengizinkan ragaku merealitakannya secara sempurna
Aku tahu besarnya janji untukku jika aku bersabar menanti pintaku yang tak kunjung habis kepadaMu
Ya Allah kuatku ada padaMu, Kebesaran hatiku ada padamu...
Jika tinta emas untukku tak berukir saat ini, izinkan tinta emas itu engkau letakkan di tempat yang lebih indah untukku..
Ya Allah... jika saat ini Engkau belum memberikan surat izin untukku memeluknya di dunia,
Izinkan aku memeluknya kekal di surga firdausMu...
Jika tangan kecilnya bukan untukku di dunia, Izinkan aku menggenggam tangan kecil sosok-sosok yang engkau ciptakan tanpa ada yang peduli..
 Izinkan keinginan terbesarku menjadi nyata..
Keinginan yang sejak kecil aku impikan..
Bersama anak-anak yang tak dipedulikan...
Menggenggam tangan mereka dan bersama ke dalam SurgaMu...
Ya Allah, aku masih punya niat sebelum menutup mataku, dan menghadap kepadaMu...
Ya Allah... Bukakan jalan untukku merealitakan niatku...
Engkau sudah mengatur semuanya Ya Allah...
Jalanku... semua yang aku cita-citakan sejak dulu..
Dan semuanya seakan nyata...

Ya Allah...
Aku benar-benar merindukannya...
Jika rasa sakit ini, akan memudar ketika aku bertemu dengan wajah-wajah sendu yang butuh pertolonganku diantaranya, Tunjukkan jalan itu Ya Allah...

 Aku ingin sekali memeluk mereka yang jauh lebih sakit..
Aku tak ada apa-apanya dibanding mereka yang alami
Ya Allah.. izinkan tanganku berjodoh dengan mereka sebelum semuanya berakhir...
Mungkin dengan memeluk mereka semua rindu ini, akan sedikit memudar...
Semua pilu ini akan sedikit terobati...
Ya Allah... kabulkan pintaku yang sangat besar ini...
Karena aku hanya merindukan SurgaMu...




Bareng Cha

Diposting oleh Nurul Qisthy di 18.11 0 komentar

 Niatnya nikmatin senja di balik teratai yang bertebaran gak teratur di pinggiran danau. Malah mendung dan teratainya gak mekar indah.. --____--. Tapi itu gak bakalan ngurangin niat besar kita buat foto-foto, meskipun berdua saja.. Meski awalnya pake acara malu-malu jepret sana-sini....







Kelihatannya nyeremin sih tempatnya sama dengan muka saya saat pengen berlagak jadi model tapi malah nakutin orang *kikuk*. Yang penting niatnya #ehhh...





 Nah ini dia foto terbaik kita berdua *katanya kita*. Meski senja kita gak kesampean, mendung-mendung malu-malu juga gak masalah.. Bakalan rindu Momen seperti ini dengan teman sebangku saya di SMA... ^_^

Minggu, 07 April 2013

Kita Tak Jodoh

Diposting oleh Nurul Qisthy di 11.41 0 komentar
     "Aku harap kita akan berjodoh" aku ingat doa itu. Aku sendiri yang mengucapkannya kepadamu ketika cerita cinta kita mengalir seperti air yang aku sendiri tak ingin air itu mencari hulunya untuk berdiam diri. Aku ingin cinta kita tanpa hulu. Mengalir hingga air tersebut pada akhirnya akan habis. Dan di saat itulah kita kembali dipertemukan dalam suatu dimensi yang lain-aku harap begitu. Kamu seperti tak menyetujui doa ku saat itu. Ada apa denganmu??? Hey, kita sudah jalan 8 bulan dan semuanya baik-baik saja. Tapi ada apa dengan doa itu?? apakah ada yang salah?? Pertanyaan yang tak pernah kamu jawab. Diammu membuatku tak ingin bercerita panjang lebar tentang hubungan kita nantinya. Padahal sebagai perempuan normal, aku ingin bermimpi tentang hubungan yang halal dan mimpi-mimpi indah lainnya bersama calon jodohku. Tapi, kamu menenggelamkan perahu mimpi aku untuk menjadi kita yang halal.
    Semua mimpi itu berakhir ketika dia berani melepaskan tanganku dan pergi jauh dariku tanpa mengucapkan selamat tinggal untukku. Hanya mengucapkan selamat tinggal untukku, haruskah serumit itu?? Kenapa? Aku siapamu sebenarnya?? wanita persinggahanmu??atau apa?? semua pertanyaan itu, tak pernah kamu jawab. Sampai aku menanyakan kabarmu pun sepertinya menjadi neraka bagimu. Aku bodoh pernah mencintaimu. Aku bodoh pernah mengenalmu. Aku bodoh selalu berpura-pura melupakanmu tapi tak pernah berhasil. Kamu tahu, kita belum putus. Belum ada ucapan putus darimu untukku dan begitu pula diriku.
     Dua tahun berlalu, tanpa kabar yang pasti darimu. Kamu selalu mengabaikan pesan singkat dan telepon dariku. Apa maumu sebenarnya? Aku hanya butuh kepastian, setidaknya kamu  cerita ke aku ada apa sebenarnya. Ini tak adil untukku. Aku pacarmu, dan masih berstatus pacarmu sebelum kamu dan aku bilang kalau kita sudah pisah. Aku masih menunggu... Sekarang, aku sudah menyelesaikan sekolahku. Keterima masuk Universitas yang aku idamkan juga sudah tercapai. Sekarang yang ada dibenakku, mencarimu dan menanyakan ketidak adilan ini. Aku berusaha melupakan semuanya, tapi tak pernah berhasil. Aku sudah punya penggantimu saat itu, namun semua perasaan itu tak pernah bisa aku bohongi. Hatiku masih ada untukmu dan masih untukmu... Saat itu, aku berhasil menemuimu. Kita seakan tak saling mengenal. Aku benci dengan keadaan ini. Delapan bulan itu bukan waktu yang singkat, tapi kenapa kamu tak ingin mengenaliku. Apa yang salah dariku?? seruwet pertanyaan yang selalu timbul jika berbicara tentangmu. Tentangmu yang tak pernah bisa menjadi jawaban di setiap pertanyaan-pertanyaanku yang bodoh. Seperti ingin menghentikan langkah untukmu. Aku menyerah.....
     "Hey apa kabarmu?"
     "Aku baik-baik saja,kamu?"
     "Baik juga. Siapa pacarmu sekarang?"
     "Kamu gak perlu tahu, yang jelasnya saya sudah punya pacar"
     Kamu seakan keberatan dengan statusku sekarang. Aku mengutip pernyataan terakhirmu kalau kamu mencintaiku, kamu tak ingin aku kenapa-kenapa. Hey, boy kemana saja?? Apa masih perlu kamu mengkhawatirkanku, sedangkan dulu aku mengemis cintamu kembali. Namun, aku tak menemukan respon yang jelas darimu. Aku terus-terus memaafkanmu karena cinta yang sepertinya sulit aku hilangkan. Meskipun saat itu, aku berstatus pacar orang. Aku hanya ingin membuatmu cemburu, membuatmu sakit seperti apa yang aku alami sekarang. Aku tak mencintai pacarku-aku mencintaimu.
     Hari itu adalah pertemuan terakhir kita. Aku menjauh dari hidupmu yang sepertinya tak pernah mengizinkan aku masuk dalam hidupmu lagi. Sekarang aku punya hidup sendiri, cerita sendiri meski sulit melepaskan bayanganmu dari ingatanku. Ketika sesuatu terjadi dalam hidupku, saat itulah aku meyakinkan diriku, bahwa kita memang tak jodoh. Aku punya jodoh lain. Meski saat itu, hatiku masih ingin menumpang dengan bayanganmu. Aku jodoh pria itu dan tak mungkin aku menolak garis takdir ini. Dan kamu tak tahu semua cerita menyakitkan yang berawal darimu. Andai saja saat itu, kamu meyakinkan akan kembali dneganku, semua ini takkan terjadi. Pasti saat ini akulah pacarmu, atau bahkan menjadi istrimu. Kembali lagi, ini takdir kita yang tak sejodoh.
     Sebelum pernikahanku, kita masih sempat mengobrol lewat dunia maya. Aku tak ingin mengatakan sepatah katapun tentang pernikahanku yang sudah menghitung hari lagi. Aku ingin bersamamu sebelum semuanya menjadi pahit. Aku melihat ada kerinduan di antara kita, meski aku selalu berusaha meredam perasaan itu. Kita masih saling merindukan, masih saling mencintai, namun garis takdir kita berbeda. Aku membiarkanmu membuatku tertawa, aku membiarkanmu melakukan segala hal untuk membuatmu bahagia, sebelum semuanya berakhir. Kita tak boleh bersama lagi. Kali ini, aku yang akan mengatakannya sendiri, sampai aku mengatakan berhenti, ini sudah cukup.
     Waktunya tiba... Aku harus mengungkapkan kebenarannya, bahwa aku harus melenyapkan cerita indah kita. Kali ini aku yang akan melepaskannya, bukan kamu lagi. Aku sudah cukup menunggu cerita manis kita, meski ujung waktu tak merestuinya. "Aku akan menikah" Pernyataan yang seakan mengguncangmu. Sampai kamu memberi respon yang lucu di obrolan kita. "Aku tak bohong, aku serius" Kucoba meyakinkannya dengan seyakin-yakinnya. "Ada apa?Kenapa tiba-tiba begitu" Tanggapanmu seakan tak percaya dengan semua kejadian ini.Aku hanya menjawab "Dia jodohku". Kamu seperti ingin mencari tahu tentang pernikahanku. Kenapa baru peduli sekarang? Kemana ragamu di saat air mata dan rasa sakit itu ada karenamu? Kenapa tidak mencariku? menanyakan kabarku, apakah aku baik-baik saja setelah kamu meninggalkanku. Kamu tahu, aku sakit. Aku seperti lupa lagi bahwa cinta itu benar-benar dengan pria lain. Aku hanya mencoba meski semuanya menyakitkan. Kenapa disaat semuanya akan berakhir, kamu menampakkan dirimu?? berpura-pura menanyakan kabarku.. memberikan perhatian selayaknya, kamu ini pacarku. Aku hanya butuh jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku dulu. Mengapa kamu meninggalkanku? namun jawaban itu tak pernah ingin kamu jawab.Chat terakhir darimu "Aku ingin bertemu denganmu untuk terakhir kalinya". Semua terasa sakit. Saat itu, seperti ingin memelukmu, menampar wajahmu, memukulmu hingga aku puas dengan semua rasa sakit yang kamu titipkan.
        Hingga saat kita bertemu, kamu masih menanyakan, Kenapa aku begitu cepat menikah sampai pada kenapa orang tuamu menerimanya?? Aku tak ingin memberikan jawaban yang tepat buatmu. Sama seperti kamu yang tak pernah memberikan jawaban tepat untukku dulu. Pertama kali kita bertemu kembali saat itu, aku seperti ingin memelukmu, namun itu tak mungkin, aku milik pria lain. Aku hanya diam seperti maumu. Inilah garis takdirku. Mencintaimu dulu yang tak pernah kamu pedulikan. Dan kini kamu berbalik mencintaiku, namun dalam kondisi yang sudah tak mungkin lagi aku menerimamu. Kita tak jodoh... Garis takdir berkata demikian. Menerimanya itulah yang wajib kita lakukan. Meski di antara kita masih ada cinta yang tersisa...


Aku dikuatkan atau dijatuhkan??

Diposting oleh Nurul Qisthy di 00.26 0 komentar
     Aku ingat pagi itu... Aku meneteskan air mata tanpa hentinya, karena aku merindukanmu. Dan datanglah  dua sosok yang tentu saja aku tak merasa asing. Mereka ayah dan ibuku. Aku mengenalnya, namun tak sesekali aku ingin memandangnya dengan kelemahanku saat ini. Aku terus menyebut-nyebut nama yang raganya mereka sudah berikan kepada orang lain, tanpa harus memikirkan, apakah aku sakit ataukah baik-baik saja? Aku tak ingin memandang wajahnya yang bersikeras menyudutkanku dengan cara mereka yang sebenarnya tak ingin aku dengar saat itu. Padahal beberapa hari yang lalu, ibu seperti kasihan denganku dan ingin membuat kehidupanku baik. "Ibu menyayangimu, Ibu gak mau kamu sedih terus, jika dia-anakmu yang akan membuatmu bahagia, aku akan mengembalikannya, kalau kamu mau, kita berangkat sekarang dan mengambilnya". Aku sontak menjawab, "Jangan sekarang. aku ada ujian". Kata-kata ibuku yang seakan membuatku merasa, ternyata ibuku tak sekejam itu. Dan sekarang aku harus baik-baik saja.
    Kedatangannya pagi itu, sontak membuatku kaget dan benar-benar tak mengerti semua tangisan kemarin itu. Apakah benar itu tangisan seorang ibu, ataukah hanya sebuah permainan saja untuk menenangkanku?. Aku juga tak mengerti. Aku ingat kata-kata memalukan ini, di saat aku butuh pelukan, aku butuh semangat di saat kelemahanku saat itu.
     "Kamu itu anak bodoh. Kamu membuat semuanya berantakan. Kamu tak akan mendapatkan anakmu. Tidak akan....Kamu bisa pergi kesana memeluknya, menciumnya, kamu boleh tinggal disana, tapi, jangan pernah mengakuinya sebagai anakmu"
     Kata-kata sekejam ini, haruskah bertutur di mulut suci seorang ibu yang aku banggakan. Secepat itukah ibu berubah pikiran?? baru beberapa hari ibu mengasihiku, kenapa sekarang berubah arah begitu??? ada apa?? sejumlah pertanyaan yang sekilas timbul dalam pikiranku.
     Aku hanya ibu memelukku dan berkata "Sabar nak, Ibu akan mengusahakan mengembalikan kebahagiaanmu". Aku menunggu kalimat itu sampai akhir drama pertikaian ini, tapi, sayangnya, Ibu hanya bisa diam melihatku sesakit ini. Dari jarak semeter, ibu menumpahkan kata-kata yang tak pantas aku dengar saat itu, dan perlahan-lahan menjauh sampai aku tak melihat ada niat ibu memelukku. Yang ada, hanya semakin menjauh, ketika aku lemah dan tergeletak seakan hidupku cukup sampai disini saja.
      Sebenarnya, kedatangan kalian saat itu, aku akan dikuatkan atau malah dijatuhkan??? aku tak bisa menjawab apa-apa karena semuanya hanya ada pada hati kalian-orang tuaku...

Sabtu, 06 April 2013

Berbagi 168 Jam

Diposting oleh Nurul Qisthy di 23.51 0 komentar
"Bunda pergi saja ya??"
"Jangan... Bunda di sini saja"
"Kenapa bunda gak boleh pergi?"
"Hmmm.... jangan saja"
     Percakapan singkat kita setelah lelah bermain dengan waktu. Jawaban yang tak akan pernah aku tolak. Kita membagi waktu kebersamaan kita sampai kita sadar akan selalu ada rindu antara kita. Percakapan singkat kita, seakan membuat putaran waktu sedikit melambat. Aku hanya bertemu denganmu beberapa jam saja, sampai kamu menolak pertanyaan yang menyesakkan itu-pergi dari dekapan matamu. Ini jawaban Tuhan, dari setiap doa yang berbalut air mata setiap waktunya.
      Seratus Enam Puluh Delapan jam batas waktu yang telah aku sepakati sebelum keberangkatanku untuk menemuimu. Pengharapan yang besar jika saja 168 jam itu maksimal. Tapi, aku sadar 168 jam itu akan terbagi bagaimanapun kondisinya. Bagaimanapun caraku untuk memandangnya lebih lama lagi. Karena aku masih punya hati yang tulus untuk membaginya.  Meski tetap masih ada air mata yang akan tertoreh ketika kamu tak begitu mengenalku. Aku terima semua itu.
       Pertama kali, aku dan kamu bertatap lama sekali. Ini sudah lama ada di benakku-sebelum keberangkatanku untuk menemuimu. Kamu tak mengenalku. Kamu tahu saat itu aku seperti apa?? SAKIT...
Salah tingkah yang kuhadirkan di depan kamu, hanya untuk menutupi rasa sakit yang sangat itu. Saat itu, apa yang ada di benakku??? Aku ingin berteriak di hadapan semua orang "Aku adalah ibu asli dari anak yang tak tahu apa-apa ini, haruskah sesakit ini hanya karena seorang ibu yang  ingin anaknya mengakuinya bahwa aku adalah ibunya" Namun, aku tak berhak menyakiti perasaan mereka-orang tua angkat anakku. Aku memeluknya meski seringkali menolak pelukanku. "Aku ingin pergi dengan ibuku" hanya itu yang terucap ketika aku mendekatinya. "Aku Ibumu nak" Seperti ingin meyakinkannya dengan kata-kata itu, tapi tak akan mungkin untuk saat itu. Aku menahan air mata yang tak harus aku teteskan saat itu. Berusaha tegar caraku untuk tidak terlihat lemah di hadapannya.
       Beberapa kali kita bertemu... Meski awalnya kita tak pernah tidur bersama dan akhirnya tidur bersama. Aku harus membagi 168 jam itu dengan Ibu angkatmu. Aku tak keberatan. Meski sering kali air mata dalam shalatku menetes begitu saja. Melihatmu bahagia dengan ibu angkatmu. Namun, Tuhan selalu menguatkanku sehingga aku tak boleh lemah meski kamu tak berpihak kepadaku.
       Seratus Enam Puluh jam yang kuinginkan denganmu, seperti jauh dari kenyataannya. Hatiku sudah dipermainkan. Namun, saat itu aku tak ingin berbicara apapun. Kurang dari 168 jam mungkin sudah cukup untukku. Kita sudah saling berbagi cerita, tersenyum bersama, membuatkanmu makan, memandikanmu, bermain denganmu, menyanyikanmu "Nina Bobo", memelukmu, mungkin Tuhan berkata sudah cukup. Meski tak cukup buatku. Aku sadar. "Inikah rasanya menjadi seorang ibu?ternyata menyenangkan" Itulah yang kurasakan saat itu. Dan kelihatannya kamu juga senang dengan itu semua, meski harus menunggu beberapa jam dari 168 jam yang kutargetkan.
       "Nak, main sama ibumu gih, dia baru saja datang"
       "Tidak mau, aku mau sama bunda saja"
       "gak boleh gitu sayang"
       Tiba-tiba kamu memelukku erat sekali. Seakan kamu ingin bilang "Aku hanya ingin sama bunda saja, aku rindu sama bunda". Jika saja kamu sudah sebesar anak-anak yang sudah masuh Sekolah Dasar, mungkin kamu akan berkata demikin dalam kondisi saat ini. Kamu acap kali mengecupku tiba-tiba, dan mengajakku untuk bernyanyi. Kamu tahu saat itu perasaanku?? Aku bahagia dan merasa tidak enak-tidak enak dengan ibumu, yang melihat kedekatan kita. Pasti perasaannya sakit melihatmu lebih akrab denganmu. Selalu aku selipkan seruan "Kamu masuk saja", namun tanggapanmu sama sekali tak merespon seruanku. Aku memelukmu erat dan kamu membalasnya. Kita ternyata punya hati yang saling merindu, meski kita tak bisa mengungkapkannya kepada mereka yang tak pernah mengerti.
         "Ayo pulang?"
         "Aku tak mau pulang, Ibu pulang saja"
         "Kenapa begitu? teman-temanmu sudah merindukanmu. Ayo pulang" Seruan Ibu angkat anakku yang tak henti-hentinya. Aku membantu membujuknya, dan kali ini aku berhasil. Dia seakan luluh hatinya ketika seruanku yang manis ke arahnya. Sepertinya, dia memang tak ingin meninggalkanku, dia selalu mencar-cari alasan untuk tidak pergi sampai ibunya sendiri tak bisa mengendalikannya. Namun, entah kenapa, aku merasa kasian dengan ibunya. Aku menggendong anakku dan memeluknya senyaman mungkin. "Kamu pulang ya sayang" Kamu sepertinya luluh lagi. Yang tadinya kamu ngambek, kenapa tiba-tiba kamu tak tenang. Semua orang yang melihatnya, seperti heran dengan sikap tenang anakku-yang sebenarnya sifatnya keras. Aku melambaikan tangan kearahnya, dan berharap besok dia akan kembali lagi bermain denganku. Namun, aku tak tahu alasan jelasnya, dan sampai sekarang aku tak mendapat jawaban yang tepat untuk meyakinkan tanda tanya itu. Kenapa 48 jam terakhir sebelum keberangkatanku pulang, dia tak membawa anakku lagi. Padahal di saat itulah aku ingin dia bersamaku. Aku sudah ikhlas membagi 168 jam waktu kebersamaan kami denganmu, namun, alasan untuk tidak mendekatkanku dengan dia apa? takut? Baiklah aku mengerti. Semoga anda mengerti bagaimana rasanya aku berbagi 168 jam ku dengannya...


Kamis, 04 April 2013

Kamu dan Pelangi

Diposting oleh Nurul Qisthy di 07.52 0 komentar
Kamu dan pelangi...
Sesuatu yang Sama-sama aku rindukan
Pelangi hadir ketika hujan telah reda..
Seperti kamu yang hadir beriringan dengan warna sang pelangi...
Sungguh menyenangkan ketika kamu dan pelangi bisa sama-sama aku temui dalam waktu yang bersamaan
Akan lebih indah....
Karena kamu dan pelangi itu satu

Pelangi membuatku menunggu kapan akan turun hujan...
Seperti aku menuggu kamu yang memberikan warna dalam hidupku
Meski Hujan dan Pelangi tak jalan beriringan, mereka akan terpisah di persimpangan waktu,
Aku selalu yakin suatu saat nanti Akan ada hujan meski setetes yang di saksikan oleh lengkungan pelangi...
Seperti kita yang sulit bersatu namun aku yakin ada saat dimana kamu menemukanku dalam waktu yang panjang....

Kamu dan Pelangi....
Yang setiap waktu aku rindukan
Semua warna dalam pelangi ada pada kamu...
Itu mengapa aku selalu menyebut Kamu dan pelangi itu adalah satu...

 Jika pelangi seindah ini, apa mungkin saya bisa melupakannya secepat aku melupakan materi kuliah??
Itu tidak akan pernah terjadi...
Karena jika aku melupakan pelangi yang hadir setelah hujan, itu sama artinya aku melupakanmu juga... Sementara, Aku masih ingin melihat warna pelangi dalam dirimu....

Aku masih menunggu saat dimana Kamu dan pelangi hadir secara bersamaan di hadapanku....

Aku akan tetap bertatapan dengan waktu, sampai waktu menyerah dan memalingkan wajahnya... Karena Aku hanya ingin melihat Kamu di antara pelangi setelah Hujan...............

"Rainbow is You... You stay at colours by rainbow"

Sabtu, 30 Maret 2013

Meet Again

Diposting oleh Nurul Qisthy di 09.39 0 komentar
Rencana kadang tak sejalan dengan kenyataannya...
Seperti pertemuan kami yang tak pernah berjalan sukses akhir-akhir ini...
Oh.. My GX... 
Kita belum pisah pulau aja, bisa seribet ini yah...
Kita sudah punya kesibukan masing-masing. Intensitas pertemuan kitapun tergolong minim
Menyalahkan keadaan, mungkin itu.. Tapi, Kita punya alur hidup masing-masing
Kita mesti terima itu..
Ini kita dan pertemuan kita seminggu lalu 




Menitip Senja

Diposting oleh Nurul Qisthy di 09.12 0 komentar


Senja kejingga-jinggaan
Aku dan Kamu sama-sama menyukainya…

Kita saling bergenggaman tangan, melempar senyum satu sama lain, dan saling memberi secarik kertas untuk menuliskan nama kita berdua. Di depan kita, ada ombak yang berseru, bersorak tentang kemesraan kita.  Di bawah senja kejingga-jinggaan itu, kita mengikrarkan cinta kita. Kita selalu berada di tempat ini, ketika rindu telah bertahta di hati kita masing-masing. Kita selalu merindukan kemesraan dikala senja datang dengan riukan ombak yang bersemai. Kita suka senja kejingga-jinggan. Namaku Senja Setia Putri. Ini adalah bukan sebuah kebetulan jika aku menyukai senja. Aku dan Awan-pacarku sama-sama menyukai senja. Kami sering menghabiskan waktu bersama di kala senja datang. Aku dan Awan juga suka laut. Kami sering menulis nama kami dalam secarik kertas dan memasukkannya ke dalam botol minuman bekas dan menghanyutkannya ke laut. Dengan 1 harapan, Aku dan Awan akan tetap selalu bersama. Seperti halnya secarik kertas yang bertuliskan nama kami dalam sebuah botol minuman bekas itu. Meski ombak menghanyutkannya dengan begitu lantang, dia tetap bertahan dan seakan tak ingin memisahkan nama kita. Awan adalah pria romantis menurutku. Ucapan “Aku Sayang Kamu” selalu menjadi sarapan pagi buatku dari Awan. Lima tahun kita bersama, Awan masih tetap Awan yang dulu. Awan yang pertama kali menyatakan cinta di bawah senja. Awan yang pertama kali menatap mataku dengan tajam. Pria satu-satunya yang menembakku dengan kalimat “ Kamu adalah senja, Kamu yang menyukai senja, dan aku ingin mengikrarkan cinta di bawah senja”. Di saat itulah, kami adalah penyuka senja sejati. Satu-satunya pasangan yang hampir setiap hari menikmati senja di pantai-kota kami.
©©©
Aku dan Awan kuliah di universitas yang sama. Aku jurusan Sastra Indonesia sedangkan Awan kuliah di jurusan Sastra Inggris. Aku dan Awan seangkatan. Kami sama-sama sudah semester akhir. Tapi, Awan ketinggalan 2 semester karena dia pernah cuti akibat penyakit yang dideritanya. Dia mengidap Penyakit Jantung bawaan. Dan aku baru mengetahui penyakit Awan ketika waktu itu aku sangat sibuk mengurus ujian proposalku. Sementara Awan memaksakan dirinya untuk setiap detik berada di sampingku. Dia mendampingiku mengurus segala keperluan untuk ujian besok. Waktu itu kami sangat sibuk. Awan pulang balik mengantarku kesana-kemari. Semua urusan sudah terselesaikan. Awan mengantarku pulang. Ketika dia turun dari motornya, bermaksud mengantarkanku masuk ke dalam rumah, tiba-tiba dia terjatuh. Aku berusaha menahannya agar dia tak jatuh ke tanah. Tapi, aku tak sekuat itu. Aku hanya berhasil menahan kepalanya dengan tanganku. Badannya tergeletak ke tanah. Aku panik. Aku berteriak memanggil orang-orang yang melewati jalan sepanjang rumahku. Mereka berdatangan dan mengangkat tubuh Awan yang tak berdaya masuk ke dalam rumahku. Aku menangis sambil menggenggam tangan Awan sekuat mungkin. Dia juga seakan berusaha kuat membalas gengamanku. Ayah dan Ibu tak berada di rumah. Mereka masih dalam karir masing-masing di luar sana. Di rumah hanya ada aku dan Awan yang belum juga sadar. Orang-orang yang telah mengangkat Awan semua telah pulang. Aku bingung harus melakukan apa untuk orang yang kucintai itu. Aku hanya bisa mengelus-elus kepala Awan sambil menangis. Aku membisikkan ke teling Awan “Awan bangun”. Kubisikkan kata itu, sampai berulang kali. Lima belas menit kemudian, Awan bangun dengan memegang dadanya. Dadanya seakan sakit. Aku tak berfikir apa-apa ketika itu. Aku terus memeluk Awan yang masih lemah. Aku  senang Awan telah sadar.
“Aku kenapa?Kok aku di dalam rumah kamu?” Tanya Awan
“Kamu lupa ya??Kamu tadi pingsan saat kamu ngantarin aku masuk” Jawabku
Awan tiba-tiba diam. Dia tak membalas lagi percakapanku. Aku menanyakan apa dia baik-baik saja. Dia menjawab “Iya Aku baik-baik saja”. Aku tak pernah melihat keadaan Awan se-drop ini. Aku mulai curiga pada sikap diam Awan yang tiba-tiba. Aku mulai meyakinkan Awan kalau aku adalah orang yang dia cintai dan aku siap menjadi pendengar setia Awan. Aku terus meyakinkannya. Awan berusaha tetap menyembunyikan degan raut wajah yang berusaha dibuat-buat agar tidak menimbulkan kecurigaan.  Namun, Aku tidak percaya dengan raut wajah bodoh itu. Aku kenal Awan sudah lama. Dia tak pernah sebodoh ini. Namun, Awan tidak kuat menyembunyikannya kepadaku. Dia menceritakan penyakitnya itu. Tiba-tiba beningan air mata muncul dari pelupuk air mataku. Aku terdiam. Aku mencintai orang yang lemah dan aku sering memaksakannya untuk menemaniku. Aku pacar yang jahat ternyata. “Maafkan Aku Wan..Maafkan Aku” Kataku dalam hati. Semua cerita itu adalah tombak yang tiba-tiba menusuk hatiku. Aku merasa sangat bersalah dengan Awan. Gara-gara aku, Awan jadi ­Drop begini. Tiba-tiba ada rasa yang sangat besar untuk memeluk Awan selama mungkin. Aku ingin menjadi Awan. Aku Senja yang ingin menggantikan Awan. Aku senja yang ingin merasakan menjadi Awan. Rasa ingin memeluk Awan terlalu besar itu membuatku hanya bisa menatap Awan yang melemah. Namun, tiba-tiba Awan memelukku dan mengatakan “ Maafkan Aku Senja, Awan yang kamu sukai adalah orang yang lemah. Awan yang kamu miliki hanya bisa berusaha untuk membuatmu bahagia dengan semua kelemahan ini. Awan yang hanya ingin menyatu dengan senja”.  Aku terdiam dan membalas pelukan hangat dari Awan. Aku ingin sekali berteriak “ Aku Senja yang menyukai Awan apa adanya. Sama seperti saat aku belum mengetahui semua ini”. Semenjak kejadian itu, aku tak pernah lagi merepotkan Awan. Aku selalu ingin menjadi Senja yang menjinggakan Awan. Aku ingin menjadi pacar terbaik Awan.
©©©
Memasuki tahun ke-enam kebersamaan Kami. Aku sudah meraih gelar sarjanaku, sementara Awan masih mengejar ketinggalannya. Saat menggelari Sarjana Sastra Indonesia, perasaan membenci gelar itu tiba-tiba datang. Aku tak selalu bisa berada di samping Awan. Tak bisa menemani Awan ketika sedang mengerjakan tugas kuliah di kampus. Tak ada makan bareng setiap hari lagi di kantin sastra. Aku khawatir dengan Awan. Aku takut dia terlalu capek dan ngedrop lagi. Aku tak ingin Awanku sampai sakit lagi. Hal yang paling aku benci ketika mendapatkan gelar sarjana ini, desakan orang tuaku yang menginginkanku menikah. Aku selalu menolak karena ada Awan. Aku selalu mebicarakannya dengan Awan ketika kami menatap senja yang sama. Tapi, Awan hanya bisa meledekku. Aku tak tahu isi hati Awan seperti apa. Aku ingin Awan menikahiku. Tapi, Awan belum selesai. Sementara orang tuaku, menginginkanku cepat-cepat menikah karena katanya Ayahku sudah tua. Dia ingin sekali menimang cucu dariku. Aku anak tunggal dan mereka semua hanya bisa berharap kepadaku. Awan tak pernah peduli dengan Senja yang mulai bingung. Awan hanya bisa menghiburku tanpa solusi apapun. Seringkali aku bilang ke Ibuku, tunggu beberapa tahun lagi, tapi Ibuku menginginkan Aku menikah tahun ini. Bagaimana dengan Awan-pacarku?? Aku tak mungkin meninggalkannya begitu saja hanya karena kehendak orang tuaku.
©©©
Beberapa bulan kemudian, seorang pria bertubuh jangkung dan berparas tampan yang di dampingi oleh seorang wanita yang sudah separuh baya dan seorang laki-laki yang rambutnya telah memutih, duduk di sofa rumahku. Disana ada ayah dan ibuku. Mereka seperti sangat akrab. Mereka seperti telah membicarakan hal serius. Aku pun berharap bukan tentang aku. Aku masuk ke dalam rumah. Tiba-tiba Ibu memanggilku dan memperkenalkanku dengan sosok pria misterius itu. Namanya Langit. Langit Pratama Putra. Anak pertama dari Ibu Lani dan Pak Singgit. Pak Singgit adalah kerabat dekat Ayah. Itu yang aku tangkap dari perkenalan pertamaku dengan keluarga Pak Singgit. Langit memiliki senyuman yang manis, hampir sama dengan senyuman Awan. Tapi, aku tak akan pernah bilang kalau Langit sama dengan Awan. Awanku bukan Langit. Awanku adalah milik Senja. Setelah perkenalan itu, Langit terus mengirimiku pesan. Dia mendapat nomorku dari Ibuku. Dia sangat sopan dan sikapnya sedikit mirip dengan sikap Awan. Cara dia bertutur kata, cara dia mengirimiku pesan dan cara dia menghiburku. Semua hal hampir mirip dengan Awan. Langit selalu menanyakan kabarku. Aku sering tak menggubrisnya. Karena aku masih dengan Awan. Aku masih ingin menjaga perasaan Awan-orang yang kucintai selama enam tahun.
Ketika aku sedang berbicara dengan Awan melalui telepon, Ibu tiba-tiba memanggilku. Aku memutus pembicaraan dengan Awan dengan kata penutup “Senja sayang Awan”. Aku pun berlari ke arah Ibu. Ibu memberi raut wajah serius ke arahku. Aku seperti takut untuk mendekat ke Ibuku. Ibu menyuruhku duduk dan membicarakan sesuatu hal yang tiba-tiba menghujam jantungku. Tiba-tiba seperti ada awan hitam di saat senja, dan kemudian langit bocor dan mengeluarkan hantaman petir ke arah senja. Senja seperti tak ada lagi. Hanya ada senja kehitaman. Ketika Ibu membicarakan perjodohanku dengan Langit-anak pak Singgit. Ibu tak membiarkanku untuk menceritakan tentang Awan yang sakit. Ibu seakan memaksaku menikah dengan Langit-pria yang asing dan yang tak pernah kucintai. Paling menyakitkan lagi, aku harus menikah dengan Langit bulan depan. Ternyata, kedatangan Langit dan orang tuanya kemarin adalah acara pertunanganku dengan Langit. Aku tak menyadari semuanya. Aku melihat raut muka Ibu yang memelas kepadaku. Aku seakan tak bisa menolak kehendak Ibu. Di sisi lain aku masih dengan Awan. Aku tak ingin Awan hilang dikala senja. Disaat itu Senja tak lagi kejinggaan. Hanya ada Senja kehitaman. Semua impianku dengan Awan untuk tetap menatap senja yang sama di sore hari bersama setiap harinya, kini pupus.
©©©
Aku mengirim pesan ke Awan. Mengajaknya ke tempat kita biasa menatap senja dan menghanyutkan secarik kertas yang bertuliskan nama Senja dan Awan di dalam botol. Awan menanggapinya dan setuju dengan ajakanku. Awan seperti biasa saja. Dia belum tahu betapa hancurnya aku saat ini. Aku takut sekali Awan drop dan tak bisa melihat Awan lagi dalam senja. Aku melihat Awan sudah duduk di tempat yang tidak asing lagi bagi Aku dan Awan. Aku seperti takut mendekat. Aku ingin sekali memeluk Awan sepanjang waktu. Sebelum semuanya berubah. Aku mulai mendekat ke arah Awan dan duduk tepat di sampingnya. Kaki, Tangan, mulai keram. Detak jantung berdetak tak karuan. Wajahku selalu berusaha untuk tidak menampakkan raut wajah sedih. Aku menatap Awan di saat senja. Aku melihat senyum Awan sama seperti pertama kali kami duduk di sini dan mengikrarkan cinta kita. Aku hanyut dalam perasaan yang sangat hancur. Semua tak bisa tertahan, meski aku mencoba untuk bertahan untuk tidak menangis, aku tak bisa melihat wajah polos Awan. Aku lalu memeluknya. Disana hanya kami berdua.Sehingga aku tak pernah malu untuk memeluknya di tengah senja. Aku menangis dan terus meminta maaf. Awan yang hanya diam, membalas pelukan eratku. Dia menanyakan apa yang terjadi kepadaku. Aku tidak bisa mengucap sepatah kata pun. Aku seperti lupa, pembicaraan yang kubawa kesini untuk Awan dari rumah. Aku terus menangis dan memeluk Awan. Aku tak ingin melepaskan pelukan terakhir itu untuk Awan. Hanya untuk Awan dalam senja. Awan melepaskan pelukanku. Dia menghapus air mataku dengan jemari yang sering menggenggamku di saat senja seperti ini. Dan sekarang dia menggunakan jemarinya untuk menghapus air mataku yang tak pernah berhenti berderai. Awan bertanya “Ada apa?”. Aku menceritakan semua tentang perjodohan itu tanpa terlewatkan sepatah katapun. Kulihat pertama kali air mata menetes di pelupuk mata Awan. Awan seperti kelihatan sangat sedih. Yang aku tahu selama enam tahun ini, Awan adalah pria yang tegar. Dia tegar menjalani rasa sakit yang selalu muncul dalam kesehariannya. Dan kini aku melihat air mata itu membasahi pipi Awan. Aku tak mampu menghapus air mata langka itu. Tiba-tiba dia meraih kepalaku dan mengecup keningku yang terakhir kalinya. Air mata kami saling berjatuhan. Kami menikmati senja dengan hiruk pikuk kesedihan. “Senja akan tetap selalu untuk awan, meski senja telah berlabuh dengan awan lainnya. Ketika Senja merindukan Awan, Awan akan selalu ada mendampingi senja untuk membuat dunia menjadi indah. Kamu harus percaya itu. Awan dan senja selalu akan tetap berdampingan. Kamu jangan takut!!!” Kalimat terakhir saat senja terakhirku dengan Awan. Awan seperti merelakanku dengan perjodohan ini. Dia begitu kuat. Sementara aku rapuh. Senja terakhirku dengan Awan. Aku menghabiskan senja itu berdua. Dengan pelukan dan air mata. Setelah itu, Aku tak pernah lagi bertemu dengan Awan. Awan-mantan kekasihkupun tak pernah lagi menghubungiku. Nomornya tak lagi aktif. Dan aku masih merindukan Awan Enam tahun lalu. Saat pertama kali bertemu.  
©©©
Akad nikahku berjalan dengan lancar. Langit telah menjadi milikku yang sah. Tak ada lagi Awan yang saat senja, yang ada hanya langit pengganti awan. Aku masih merindukan Awan yang pergi tanpa meninggalkan jejak. Sekarang aku berusaha meletakkan langit dalam senja. Tapi, aku seperti melihat Awan dalam diri Langit. Mereka begitu mirip. Sampai-sampai Langit seperti tahu semua tentang aku. Padahal aku baru saja mengenal Langit sebulan yang lalu. Langit dan Awan adalah pria yang berbeda tapi seperti selalu ada yang sama dari mereka. Aku tak bisa menebak terlalu dalam. Karena intinya Langit dan Awan adalah orang yang berbeda.
Sekarang aku telah mengandung anak Langit. Langit adalah suami yang sangat baik. Dia begitu peduli padaku. Sama seperti pedulinya Awan denganku dulu. Usia kandunganku sudah memasuki 9 bulan. Bulan ini adalah bulan aku akan menjadi Ibu dari anakku bersama Langit. Hasil USG di rahimku bersemi janin berparas tampan. Dia seorang anak laki-laki. Aku selalu berharap dia mirip dengan Awan. Karena aku selalu merindukan Awan.
“Sayang… kesini dulu”
“Iya…tunggu”
 Aku berjalan ke arah Langit yang sedang duduk di sudut ranjang kamar kami. Dia seperti memegang sesuatu yang mirip botol minuman bekas. Dia mempersilahkan aku duduk di sampingnya dan menyodorkan botol minuman bekas yang berisi gulungan kertas berwarna jingga. “Apa ini?” Tanyaku. “Ada yang menitipkan ini kepadaku setahun yang lalu. Dia menyuruhku memberikannya kepadamu ketika kamu telah mengandung dan usia kandunganmu sudah memasuki 9 bulan”. Aku tak bertanya apa-apa lagi kepada Langit. Botol minuman bekas ini, serasa tak asing. Ini mengingatkanku 7 tahun yang lalu di tepi pantai di bawah senja. Ya, saat itu aku masih dengan Awan. Aku tak sabar membuka gulungan kertas jingga berpita putih itu. Aku ingin mengetahui isi lembaran misterius itu.
Untuk Senja…
Aku Awan yang pernah menghiasi hidup senja. Aku Awan yang berharap senja tak pernah berubah warna. Aku Awan yang ingin senja tetap jingga. Sekarang senja sudah bahagia dengan awan lain. Disini aku tersenyum untuk senja. Meski tempat awan dan senja sudah berbeda, Awan akan tetap mendampingi senja yang kejinggan itu. Awan akan selalu hadir selama senja masih terus ada. Karena awan tak pernah terpisahkan dari senja. Sekarang senja yang aku kenal sudah akan melahirkan senja atau awan yang baru.Dia pasti tampan atau cantik. Maafkan tak bisa mempertahankan hubungan kita dulu. Karena Senja pasti  sudah tahu, kalau Awan sulit bertahan dengan hidupnya yang hanya tinggal menghitung hari. Awan tak ingin senja bersedih dalam jangka waktu yang lama. Awan menghentikan semua tangisan itu secepatnya, dengan mengirimkan langit pengganti awan. Langit milik senja sekarang adalah kakak dari Awan. Selama ini Awan tak ingin menceritakan tentang keluarga Awan sebenarnya. Karena Awan ingin menikmati hidup Awan dengan cinta bersama Senja. Sekarang aku harus mengikhlaskan cinta Awan untuk Langit. Langit adalah kakak terhebat buat Awan. Dan akan menjadi suami terhebat buat Senja. Aku ingin berterima kasih kepada Langit, karena telah menjadi pahlawan buat Awan. Buat Kak Langit Titip Senja buat Awan ya.. Dan jika anak pertama Kak langit dan Senja adalah seorang laki-laki aku ingin nama Awan buat anak itu. Agar Langit, Awan dan Senja bersatu untuk meronai dunia. Sekarang aku suka Awan, senja dan Langit. Kecup sayang buat Kak Langit dan Kakak Iparku Senja… Tak lupa buat calon kemankanku…Salam sayang Awan”
Pelupuk mataku telah basah lagi membaca sebait surat Awan untukku. Aku sangat marah dengan Awan. Dia membiarkanku dengan pria lain, yang tak lain dia adalah kakaknya sendiri. Aku bukan wanita sejahat itu, yang membiarkanmu kesakitan sendiri. Andai aku tahu sebelumnya, aku tak akan membiarkan semua ini terjadi. Aku akan menikahi Awan dalam keadaan seburuk apapun tapi, semua telah terlewatkan. Awan telah pergi untuk selamanya. Aku tiba-tiba memeluk suamiku yang mirip dengan Awan itu. “Aku merindukan Awan, Bisakah kamu menemaniku ke tempat peristirahatan terakhirnya?” Ajakku ke suamiku. “Baiklah aku akan menemanimu. Hapus air matamu, karena Awan tidak ingin melihat senja bersedih” Bujuknya. Aku dan suamiku pergi ke daerah pemakaman yang tidak jauh dari rumahku. Aku melihat nama Angriawan Saputra di papan yang tertancap di atas gumpalan tanah yang sudah mengering.  Aku menangis dalam pelukan suamiku. Dia mencoba menenangkanku. Aku melihat raut wajah kesedihan di wajah suamiku. Sesekali ku dengar dia membisikkan kalimat “Aku bangga punya adik seperti Awan”. Ya.. aku juga bangga punya Awan dalam senja yang lalu. Beberapa hari kemudian, aku melahirkan anak tampan. Dia mirip dengan Langit dan Awan. Aku pun memberikannya nama Awan untuk anakku dengan Langit. Sekarang aku juga suka Senja, Awan dan Langit sama seperti kesukaan Awan dalam suratnya.

Pict By My Nikon

Diposting oleh Nurul Qisthy di 09.10 0 komentar
Selamat Hari Jadi Ayah... Tetaplah jadi My Hero dalam hidupku... Suami Hebat, Suami yang penuh dengan kesabaran.. Love U

 Aku suka hujan... begitu juga gemercik yang dihasilkannya...
Aku ingin menjadi bunga ini. Bunga yang tumbuh tanpa teman... Bunga yang begitu tegar dalam kesendiriannya. Tumbuh di tembok yang kokoh. Dia tak seperti yang lainnya. Dia tetap tumbuh dengan hebatnya meskipun dia berbeda. Aku menyebutnya Wonder Flower

My Obsesi ;*

Diposting oleh Nurul Qisthy di 08.54 0 komentar




Januari Penuh Cinta ^My SOn^

Diposting oleh Nurul Qisthy di 08.49 0 komentar
Kebersamaan yang singkat namun mengesankan...
Ada sepucuk kehangatan ketika pelukanmu tiba-tiba berlabuh di tubuhku
Aku tahu kamu menyimpan rindu sama sepertiku
Rindu yang tak bisa mereka baca
Hanya kita..Ya kita berdua
I Miss U My Son
Aku mencintaimu lewat doa
Aku merindukanmu dengan radar kita
Percaya Takdir Allah yang akan membuat semuanya indah




00.00

Diposting oleh Nurul Qisthy di 08.07 0 komentar
Ketika harus menulis di blog ini, berharap kamu bisa membaca semua hal tentangmu yang pernah menjadi bagian dari pembelajaranku. Malam ini tepat pukul 00.00 air mata seorang wanita lemah ini, menetes lagi. Dengan sebait lagu , air mata itu tak hentinya bercucuran. Aku merindukanmu lagi dan lagi. Semua orang tak pernah tahu bahwa selama ini, rinduku sangat kuat. Bahkan orang mengira aku hanya memaksakan kehendakku. Setiap kali orang-orang di sekitarku, berbicara tentangku. Aku sudah dianggapnya orang yang tak waras. Acap kali aku menjadi orang yang tak pernah terkontrol. Ini semua karena kamu. Kamu yang belum mengerti semuanya. Berharap ketika engkau pertama kali membaca semua tentangku yang dulu, engkau bisa mengerti ada seseorang yang dulu membuatmu tak pernah tenang. Ada seorang wanita lemah yang sering menyebut namamu dalam doa, dalam tidur dan dalam setiap detiknya. Ada wanita gila yang di hempaskan sana-sini demi memperjuangkanmu. Ada wanita yang kelihatan bodoh yang selalu menyebutmu dalam tweetnya.. Ada seseorang yang sama sekali sudah tak dianggap berharga tapi berusaha bangkit buatmu. Sesekali ingin rasanya memejamkan mata hanya untuk melupakanmu sejenak. Tapi, Tuhan selalu menghadirkanmu dalam mimpi-mimpi indahku. Bagaimana bisa aku melupakan semuanya?? sementara Tuhan masih memilihku untukumu. Waktu yang membuatku hampir menyerah dengan semua ini. Tapi, Tuhan yang selalu menegurku untuk tetap bangkit. Demi melihat senyum indahmu. Tapi, selalu saja ada waktu yang membuat rindu ini tak tertahan lagi. Hanya bisa memelukmu dalam tangis. Mendoakanmu dalam pilu dan mengusap keheningan dengan bersandar kepadaNya. Sampai batasku untuk melihatmu lebih dekat tak mampu kujangkau. Aku terus berpura-pura menjadi wanita kuat. Di depan suamiku. Di depan orang tuaku. tak pernah ada air mata. Aku tidak ingin melihat mereka menangis lagi. Seperti ingin jauh dari mereka. Membuat mereka hidup dengan tenang tanpa aku. Pergi jauh sudah menjadi niat terbesarku saat ini. Meninggalkan mereka. Menjauh sejauh mungkin untuk membuat mereka tidak mengenal sosok penghancur laagi. Special lagu buat MamaPapa "Bukan Dia Tapi Aku".. Dan intinya biarkan aku pergi.. Biarkan aku menjalani semuanya sendiri. Aku salah dan aku ingin menanggungnya sendiri tanpa air mata dari kalian. Dan Dia tidak  pernah salah apapun. Aku mencintainya karena Allah... Aku tak egois... Kalian tak pernah tahu setiap hari selalu ada namanya yang tersirat. Itu membuatku seperti orang yang tak sewajarnya lagi. Sampai saat aku belanja pun, selalu ada waktu buat melihat mainan buatnya. Berharap ketika dia bersamaku, kau bisa membelikan mainan yang dia suka. Sampai ketika aku melihat mobil besarpu, aku memanggil suamiku buat melihat mainan itu. Aku bilang ke Dia, yuk kita pilihin mainan buat Faiz, Faiz kan suka mobil, Kalau Faiz ada di sini, aku bakalan beliin mobil ini. Suamiku mentapku dengan tatapan sayu. Dia melihat ketidakberesanku. Iya,, aku merasa Faiz bakalan balik. Merasa dia bakalan ada di samping aku secepat mungkin.. Semua tulisan di Blogku ini, berharap kelak dia membacanya. Meskipun dia tak bersamaku. Meskipun aku tak bisa lagi melihatnya............
 

Catatan Pelangi Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea