Senja
kejingga-jinggaan
Aku dan Kamu
sama-sama menyukainya…
Kita
saling bergenggaman tangan, melempar senyum satu sama lain, dan saling memberi
secarik kertas untuk menuliskan nama kita berdua. Di depan kita, ada ombak yang
berseru, bersorak tentang kemesraan kita. Di bawah senja kejingga-jinggaan itu, kita
mengikrarkan cinta kita. Kita selalu berada di tempat ini, ketika rindu telah
bertahta di hati kita masing-masing. Kita selalu merindukan kemesraan dikala
senja datang dengan riukan ombak yang bersemai. Kita suka senja
kejingga-jinggan. Namaku Senja Setia Putri. Ini adalah bukan sebuah kebetulan
jika aku menyukai senja. Aku dan Awan-pacarku sama-sama menyukai senja. Kami
sering menghabiskan waktu bersama di kala senja datang. Aku dan Awan juga suka
laut. Kami sering menulis nama kami dalam secarik kertas dan memasukkannya ke
dalam botol minuman bekas dan menghanyutkannya ke laut. Dengan 1 harapan, Aku
dan Awan akan tetap selalu bersama. Seperti halnya secarik kertas yang
bertuliskan nama kami dalam sebuah botol minuman bekas itu. Meski ombak
menghanyutkannya dengan begitu lantang, dia tetap bertahan dan seakan tak ingin
memisahkan nama kita. Awan adalah pria romantis menurutku. Ucapan “Aku Sayang
Kamu” selalu menjadi sarapan pagi buatku dari Awan. Lima tahun kita bersama,
Awan masih tetap Awan yang dulu. Awan yang pertama kali menyatakan cinta di
bawah senja. Awan yang pertama kali menatap mataku dengan tajam. Pria satu-satunya
yang menembakku dengan kalimat “ Kamu adalah senja, Kamu yang menyukai senja,
dan aku ingin mengikrarkan cinta di bawah senja”. Di saat itulah, kami adalah
penyuka senja sejati. Satu-satunya pasangan yang hampir setiap hari menikmati
senja di pantai-kota kami.
©©©
Aku
dan Awan kuliah di universitas yang sama. Aku jurusan Sastra Indonesia
sedangkan Awan kuliah di jurusan Sastra Inggris. Aku dan Awan seangkatan. Kami
sama-sama sudah semester akhir. Tapi, Awan ketinggalan 2 semester karena dia
pernah cuti akibat penyakit yang dideritanya. Dia mengidap Penyakit Jantung
bawaan. Dan aku baru mengetahui penyakit Awan ketika waktu itu aku sangat sibuk
mengurus ujian proposalku. Sementara Awan memaksakan dirinya untuk setiap detik
berada di sampingku. Dia mendampingiku mengurus segala keperluan untuk ujian
besok. Waktu itu kami sangat sibuk. Awan pulang balik mengantarku
kesana-kemari. Semua urusan sudah terselesaikan. Awan mengantarku pulang. Ketika
dia turun dari motornya, bermaksud mengantarkanku masuk ke dalam rumah,
tiba-tiba dia terjatuh. Aku berusaha menahannya agar dia tak jatuh ke tanah.
Tapi, aku tak sekuat itu. Aku hanya berhasil menahan kepalanya dengan tanganku.
Badannya tergeletak ke tanah. Aku panik. Aku berteriak memanggil orang-orang
yang melewati jalan sepanjang rumahku. Mereka berdatangan dan mengangkat tubuh
Awan yang tak berdaya masuk ke dalam rumahku. Aku menangis sambil menggenggam
tangan Awan sekuat mungkin. Dia juga seakan berusaha kuat membalas gengamanku. Ayah
dan Ibu tak berada di rumah. Mereka masih dalam karir masing-masing di luar
sana. Di rumah hanya ada aku dan Awan yang belum juga sadar. Orang-orang yang
telah mengangkat Awan semua telah pulang. Aku bingung harus melakukan apa untuk
orang yang kucintai itu. Aku hanya bisa mengelus-elus kepala Awan sambil
menangis. Aku membisikkan ke teling Awan “Awan bangun”. Kubisikkan kata itu,
sampai berulang kali. Lima belas menit kemudian, Awan bangun dengan memegang
dadanya. Dadanya seakan sakit. Aku tak berfikir apa-apa ketika itu. Aku terus
memeluk Awan yang masih lemah. Aku senang
Awan telah sadar.
“Aku
kenapa?Kok aku di dalam rumah kamu?” Tanya Awan
“Kamu
lupa ya??Kamu tadi pingsan saat kamu ngantarin aku masuk” Jawabku
Awan
tiba-tiba diam. Dia tak membalas lagi percakapanku. Aku menanyakan apa dia
baik-baik saja. Dia menjawab “Iya Aku baik-baik saja”. Aku tak pernah melihat
keadaan Awan se-drop ini. Aku mulai
curiga pada sikap diam Awan yang tiba-tiba. Aku mulai meyakinkan Awan kalau aku
adalah orang yang dia cintai dan aku siap menjadi pendengar setia Awan. Aku
terus meyakinkannya. Awan berusaha tetap menyembunyikan degan raut wajah yang
berusaha dibuat-buat agar tidak menimbulkan kecurigaan. Namun, Aku tidak percaya dengan raut wajah
bodoh itu. Aku kenal Awan sudah lama. Dia tak pernah sebodoh ini. Namun, Awan
tidak kuat menyembunyikannya kepadaku. Dia menceritakan penyakitnya itu.
Tiba-tiba beningan air mata muncul dari pelupuk air mataku. Aku terdiam. Aku
mencintai orang yang lemah dan aku sering memaksakannya untuk menemaniku. Aku
pacar yang jahat ternyata. “Maafkan Aku Wan..Maafkan Aku” Kataku dalam hati. Semua
cerita itu adalah tombak yang tiba-tiba menusuk hatiku. Aku merasa sangat
bersalah dengan Awan. Gara-gara aku, Awan jadi Drop begini. Tiba-tiba ada rasa yang sangat besar untuk memeluk
Awan selama mungkin. Aku ingin menjadi Awan. Aku Senja yang ingin menggantikan
Awan. Aku senja yang ingin merasakan menjadi Awan. Rasa ingin memeluk Awan
terlalu besar itu membuatku hanya bisa menatap Awan yang melemah. Namun, tiba-tiba
Awan memelukku dan mengatakan “ Maafkan Aku Senja, Awan yang kamu sukai adalah
orang yang lemah. Awan yang kamu miliki hanya bisa berusaha untuk membuatmu
bahagia dengan semua kelemahan ini. Awan yang hanya ingin menyatu dengan senja”. Aku terdiam dan membalas pelukan hangat dari
Awan. Aku ingin sekali berteriak “ Aku Senja yang menyukai Awan apa adanya.
Sama seperti saat aku belum mengetahui semua ini”. Semenjak kejadian itu, aku
tak pernah lagi merepotkan Awan. Aku selalu ingin menjadi Senja yang
menjinggakan Awan. Aku ingin menjadi pacar terbaik Awan.
©©©
Memasuki
tahun ke-enam kebersamaan Kami. Aku sudah meraih gelar sarjanaku, sementara
Awan masih mengejar ketinggalannya. Saat menggelari Sarjana Sastra Indonesia, perasaan
membenci gelar itu tiba-tiba datang. Aku tak selalu bisa berada di samping
Awan. Tak bisa menemani Awan ketika sedang mengerjakan tugas kuliah di kampus. Tak
ada makan bareng setiap hari lagi di kantin sastra. Aku khawatir dengan Awan.
Aku takut dia terlalu capek dan ngedrop
lagi. Aku tak ingin Awanku sampai sakit lagi. Hal yang paling aku benci ketika
mendapatkan gelar sarjana ini, desakan orang tuaku yang menginginkanku menikah.
Aku selalu menolak karena ada Awan. Aku selalu mebicarakannya dengan Awan
ketika kami menatap senja yang sama. Tapi, Awan hanya bisa meledekku. Aku tak
tahu isi hati Awan seperti apa. Aku ingin Awan menikahiku. Tapi, Awan belum
selesai. Sementara orang tuaku, menginginkanku cepat-cepat menikah karena
katanya Ayahku sudah tua. Dia ingin sekali menimang cucu dariku. Aku anak
tunggal dan mereka semua hanya bisa berharap kepadaku. Awan tak pernah peduli
dengan Senja yang mulai bingung. Awan hanya bisa menghiburku tanpa solusi
apapun. Seringkali aku bilang ke Ibuku, tunggu beberapa tahun lagi, tapi Ibuku
menginginkan Aku menikah tahun ini. Bagaimana dengan Awan-pacarku?? Aku tak
mungkin meninggalkannya begitu saja hanya karena kehendak orang tuaku.
©©©
Beberapa
bulan kemudian, seorang pria bertubuh jangkung dan berparas tampan yang di
dampingi oleh seorang wanita yang sudah separuh baya dan seorang laki-laki yang
rambutnya telah memutih, duduk di sofa rumahku. Disana ada ayah dan ibuku.
Mereka seperti sangat akrab. Mereka seperti telah membicarakan hal serius. Aku
pun berharap bukan tentang aku. Aku masuk ke dalam rumah. Tiba-tiba Ibu
memanggilku dan memperkenalkanku dengan sosok pria misterius itu. Namanya
Langit. Langit Pratama Putra. Anak pertama dari Ibu Lani dan Pak Singgit. Pak
Singgit adalah kerabat dekat Ayah. Itu yang aku tangkap dari perkenalan pertamaku
dengan keluarga Pak Singgit. Langit memiliki senyuman yang manis, hampir sama
dengan senyuman Awan. Tapi, aku tak akan pernah bilang kalau Langit sama dengan
Awan. Awanku bukan Langit. Awanku adalah milik Senja. Setelah perkenalan itu,
Langit terus mengirimiku pesan. Dia mendapat nomorku dari Ibuku. Dia sangat
sopan dan sikapnya sedikit mirip dengan sikap Awan. Cara dia bertutur kata,
cara dia mengirimiku pesan dan cara dia menghiburku. Semua hal hampir mirip
dengan Awan. Langit selalu menanyakan kabarku. Aku sering tak menggubrisnya.
Karena aku masih dengan Awan. Aku masih ingin menjaga perasaan Awan-orang yang
kucintai selama enam tahun.
Ketika
aku sedang berbicara dengan Awan melalui telepon, Ibu tiba-tiba memanggilku.
Aku memutus pembicaraan dengan Awan dengan kata penutup “Senja sayang Awan”. Aku
pun berlari ke arah Ibu. Ibu memberi raut wajah serius ke arahku. Aku seperti
takut untuk mendekat ke Ibuku. Ibu menyuruhku duduk dan membicarakan sesuatu
hal yang tiba-tiba menghujam jantungku. Tiba-tiba seperti ada awan hitam di
saat senja, dan kemudian langit bocor dan mengeluarkan hantaman petir ke arah
senja. Senja seperti tak ada lagi. Hanya ada senja kehitaman. Ketika Ibu
membicarakan perjodohanku dengan Langit-anak pak Singgit. Ibu tak membiarkanku
untuk menceritakan tentang Awan yang sakit. Ibu seakan memaksaku menikah dengan
Langit-pria yang asing dan yang tak pernah kucintai. Paling menyakitkan lagi,
aku harus menikah dengan Langit bulan depan. Ternyata, kedatangan Langit dan
orang tuanya kemarin adalah acara pertunanganku dengan Langit. Aku tak
menyadari semuanya. Aku melihat raut muka Ibu yang memelas kepadaku. Aku seakan
tak bisa menolak kehendak Ibu. Di sisi lain aku masih dengan Awan. Aku tak
ingin Awan hilang dikala senja. Disaat itu Senja tak lagi kejinggaan. Hanya ada
Senja kehitaman. Semua impianku dengan Awan untuk tetap menatap senja yang sama
di sore hari bersama setiap harinya, kini pupus.
©©©
Aku
mengirim pesan ke Awan. Mengajaknya ke tempat kita biasa menatap senja dan menghanyutkan
secarik kertas yang bertuliskan nama Senja dan Awan di dalam botol. Awan
menanggapinya dan setuju dengan ajakanku. Awan seperti biasa saja. Dia belum
tahu betapa hancurnya aku saat ini. Aku takut sekali Awan drop dan tak bisa melihat Awan lagi dalam senja. Aku melihat Awan
sudah duduk di tempat yang tidak asing lagi bagi Aku dan Awan. Aku seperti
takut mendekat. Aku ingin sekali memeluk Awan sepanjang waktu. Sebelum semuanya
berubah. Aku mulai mendekat ke arah Awan dan duduk tepat di sampingnya. Kaki,
Tangan, mulai keram. Detak jantung berdetak tak karuan. Wajahku selalu berusaha
untuk tidak menampakkan raut wajah sedih. Aku menatap Awan di saat senja. Aku
melihat senyum Awan sama seperti pertama kali kami duduk di sini dan
mengikrarkan cinta kita. Aku hanyut dalam perasaan yang sangat hancur. Semua
tak bisa tertahan, meski aku mencoba untuk bertahan untuk tidak menangis, aku
tak bisa melihat wajah polos Awan. Aku lalu memeluknya. Disana hanya kami
berdua.Sehingga aku tak pernah malu untuk memeluknya di tengah senja. Aku
menangis dan terus meminta maaf. Awan yang hanya diam, membalas pelukan eratku.
Dia menanyakan apa yang terjadi kepadaku. Aku tidak bisa mengucap sepatah kata
pun. Aku seperti lupa, pembicaraan yang kubawa kesini untuk Awan dari rumah. Aku
terus menangis dan memeluk Awan. Aku tak ingin melepaskan pelukan terakhir itu
untuk Awan. Hanya untuk Awan dalam senja. Awan melepaskan pelukanku. Dia
menghapus air mataku dengan jemari yang sering menggenggamku di saat senja
seperti ini. Dan sekarang dia menggunakan jemarinya untuk menghapus air mataku
yang tak pernah berhenti berderai. Awan bertanya “Ada apa?”. Aku menceritakan semua
tentang perjodohan itu tanpa terlewatkan sepatah katapun. Kulihat pertama kali
air mata menetes di pelupuk mata Awan. Awan seperti kelihatan sangat sedih.
Yang aku tahu selama enam tahun ini, Awan adalah pria yang tegar. Dia tegar
menjalani rasa sakit yang selalu muncul dalam kesehariannya. Dan kini aku
melihat air mata itu membasahi pipi Awan. Aku tak mampu menghapus air mata
langka itu. Tiba-tiba dia meraih kepalaku dan mengecup keningku yang terakhir
kalinya. Air mata kami saling berjatuhan. Kami menikmati senja dengan hiruk
pikuk kesedihan. “Senja akan tetap selalu untuk awan, meski senja telah
berlabuh dengan awan lainnya. Ketika Senja merindukan Awan, Awan akan selalu
ada mendampingi senja untuk membuat dunia menjadi indah. Kamu harus percaya
itu. Awan dan senja selalu akan tetap berdampingan. Kamu jangan takut!!!”
Kalimat terakhir saat senja terakhirku dengan Awan. Awan seperti merelakanku
dengan perjodohan ini. Dia begitu kuat. Sementara aku rapuh. Senja terakhirku
dengan Awan. Aku menghabiskan senja itu berdua. Dengan pelukan dan air mata. Setelah
itu, Aku tak pernah lagi bertemu dengan Awan. Awan-mantan kekasihkupun tak
pernah lagi menghubungiku. Nomornya tak lagi aktif. Dan aku masih merindukan
Awan Enam tahun lalu. Saat pertama kali bertemu.
©©©
Akad
nikahku berjalan dengan lancar. Langit telah menjadi milikku yang sah. Tak ada
lagi Awan yang saat senja, yang ada hanya langit pengganti awan. Aku masih
merindukan Awan yang pergi tanpa meninggalkan jejak. Sekarang aku berusaha
meletakkan langit dalam senja. Tapi, aku seperti melihat Awan dalam diri
Langit. Mereka begitu mirip. Sampai-sampai Langit seperti tahu semua tentang
aku. Padahal aku baru saja mengenal Langit sebulan yang lalu. Langit dan Awan
adalah pria yang berbeda tapi seperti selalu ada yang sama dari mereka. Aku tak
bisa menebak terlalu dalam. Karena intinya Langit dan Awan adalah orang yang
berbeda.
Sekarang
aku telah mengandung anak Langit. Langit adalah suami yang sangat baik. Dia
begitu peduli padaku. Sama seperti pedulinya Awan denganku dulu. Usia kandunganku
sudah memasuki 9 bulan. Bulan ini adalah bulan aku akan menjadi Ibu dari anakku
bersama Langit. Hasil USG di rahimku bersemi janin berparas tampan. Dia seorang
anak laki-laki. Aku selalu berharap dia mirip dengan Awan. Karena aku selalu
merindukan Awan.
“Sayang…
kesini dulu”
“Iya…tunggu”
Aku berjalan ke arah Langit yang sedang duduk
di sudut ranjang kamar kami. Dia seperti memegang sesuatu yang mirip botol
minuman bekas. Dia mempersilahkan aku duduk di sampingnya dan menyodorkan botol
minuman bekas yang berisi gulungan kertas berwarna jingga. “Apa ini?” Tanyaku. “Ada
yang menitipkan ini kepadaku setahun yang lalu. Dia menyuruhku memberikannya
kepadamu ketika kamu telah mengandung dan usia kandunganmu sudah memasuki 9
bulan”. Aku tak bertanya apa-apa lagi kepada Langit. Botol minuman bekas ini,
serasa tak asing. Ini mengingatkanku 7 tahun yang lalu di tepi pantai di bawah
senja. Ya, saat itu aku masih dengan Awan. Aku tak sabar membuka gulungan
kertas jingga berpita putih itu. Aku ingin mengetahui isi lembaran misterius itu.
“ Untuk Senja…
Aku Awan yang pernah menghiasi hidup senja. Aku Awan yang berharap
senja tak pernah berubah warna. Aku Awan yang ingin senja tetap jingga.
Sekarang senja sudah bahagia dengan awan lain. Disini aku tersenyum untuk
senja. Meski tempat awan dan senja sudah berbeda, Awan akan tetap mendampingi
senja yang kejinggan itu. Awan akan selalu hadir selama senja masih terus ada.
Karena awan tak pernah terpisahkan dari senja. Sekarang senja yang aku kenal
sudah akan melahirkan senja atau awan yang baru.Dia pasti tampan atau cantik.
Maafkan tak bisa mempertahankan hubungan kita dulu. Karena Senja pasti sudah tahu, kalau Awan sulit bertahan dengan
hidupnya yang hanya tinggal menghitung hari. Awan tak ingin senja bersedih
dalam jangka waktu yang lama. Awan menghentikan semua tangisan itu secepatnya,
dengan mengirimkan langit pengganti awan. Langit milik senja sekarang adalah
kakak dari Awan. Selama ini Awan tak ingin menceritakan tentang keluarga Awan
sebenarnya. Karena Awan ingin menikmati hidup Awan dengan cinta bersama Senja. Sekarang
aku harus mengikhlaskan cinta Awan untuk Langit. Langit adalah kakak terhebat
buat Awan. Dan akan menjadi suami terhebat buat Senja. Aku ingin berterima
kasih kepada Langit, karena telah menjadi pahlawan buat Awan. Buat Kak Langit
Titip Senja buat Awan ya.. Dan jika anak pertama Kak langit dan Senja adalah
seorang laki-laki aku ingin nama Awan buat anak itu. Agar Langit, Awan dan
Senja bersatu untuk meronai dunia. Sekarang aku suka Awan, senja dan Langit.
Kecup sayang buat Kak Langit dan Kakak Iparku Senja… Tak lupa buat calon
kemankanku…Salam sayang Awan”
Pelupuk mataku telah basah lagi
membaca sebait surat Awan untukku. Aku sangat marah dengan Awan. Dia
membiarkanku dengan pria lain, yang tak lain dia adalah kakaknya sendiri. Aku
bukan wanita sejahat itu, yang membiarkanmu kesakitan sendiri. Andai aku tahu
sebelumnya, aku tak akan membiarkan semua ini terjadi. Aku akan menikahi Awan
dalam keadaan seburuk apapun tapi, semua telah terlewatkan. Awan telah pergi
untuk selamanya. Aku tiba-tiba memeluk suamiku yang mirip dengan Awan itu. “Aku
merindukan Awan, Bisakah kamu menemaniku ke tempat peristirahatan terakhirnya?”
Ajakku ke suamiku. “Baiklah aku akan menemanimu. Hapus air matamu, karena Awan
tidak ingin melihat senja bersedih” Bujuknya. Aku dan suamiku pergi ke daerah
pemakaman yang tidak jauh dari rumahku. Aku melihat nama Angriawan Saputra di
papan yang tertancap di atas gumpalan tanah yang sudah mengering. Aku menangis dalam pelukan suamiku. Dia
mencoba menenangkanku. Aku melihat raut wajah kesedihan di wajah suamiku.
Sesekali ku dengar dia membisikkan kalimat “Aku bangga punya adik seperti
Awan”. Ya.. aku juga bangga punya Awan dalam senja yang lalu. Beberapa hari
kemudian, aku melahirkan anak tampan. Dia mirip dengan Langit dan Awan. Aku pun
memberikannya nama Awan untuk anakku dengan Langit. Sekarang aku juga suka
Senja, Awan dan Langit sama seperti kesukaan Awan dalam suratnya.